Powered By Blogger

Selasa, 21 Juli 2009

Keluarga Sakinah Mardatillah


Pedoman dalam mencapai nikmat berkeluarga dalam Islam di mana Rahmah itu lebih tinggi dari Mawaddah.

Menurut Prof Dr Hamka, rahmah lebih tinggi kedudukannya daripada mawaddah sebab ia kasih mesra di antara suami isteri yang bukan lagi berasaskan keinginan syahwat, sebaliknya rasa kasih sayang murni yang tumbuh dari jiwa yang paling dalam sehingga suami isteri merasakan kebahagiaan yang tidak bertepi dan ketenangan yang tidak berbatas.

Di dalam al-Quran dijelaskan bahawa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, sebagaimana firman Allah yang bermaksud:

"Dan di antara tanda-tanda kebesaran Allah itu bahawa Dia jadikan bagi kamu pasangan hidup agar kamu mendapatkan ketenangan / kebahagiaan bersamanya. Kemudian Allah ciptakan di antara kamu berdua mawaddah dan rahmah." (Surah al-Rum, ayat 21)


Alam ini terasa indah kerana Allah menciptakannya berpasang-pasangan. Ada siang, ada pula malam. Ada tempat yang subur, ada pula yang tandus. Ada gunung-ganang yang tinggi tapi ada juga lembah dan lurah yang dalam. Ada lelaki dan ada pula perempuan.

Allah menciptakan pasangan untuk manusia agar mereka dapat hidup seiring sejalan, berbahagi suka dan duka serta tetap bersama dalam melayari kehidupan yang penuh dengan onak, duri, dugaan, tentangan dan cabaran demi mencapai satu matlamat mendapatkan keluarga sakinah mardatillah. Selain ketenangan di dalam pernikahan, Allah juga menciptakan mawaddah dan rahmah di hati suami dan isteri. Sebahagian ahli tafsir membezakan makna mawaddah dan rahmah ini.
Bagi mereka, mawaddah adalah rasa cinta berdasarkan syahwat kemanusiaan, iaitu keinginan untuk melakukan hubungan suami isteri yang akan melahirkan dan mengembangkan keturunan manusia.
Mawaddah atau keinginan untuk melakukan hubungan suami isteri ini ada hadnya seiring dengan umur manusia itu sendiri. Apabila seorang lelaki telah berumur 60-70 tahun dan perempuan berumur 50 tahun, mawaddah ini akan berkurangan. Maka, pada saat inilah Allah akan menimbulkan rahmah atau kasih sayang yang suci murni di hati pasangan berkenaan.
Menurut Prof Dr Hamka, rahmah lebih tinggi kedudukannya daripada mawaddah sebab ia kasih mesra di antara suami isteri yang bukan lagi berasaskan keinginan syahwat, sebaliknya rasa kasih sayang murni yang tumbuh dari jiwa yang paling dalam sehingga suami isteri merasakan kebahagiaan yang tidak bertepi dan ketenangan yang tidak berbatas.

“(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita muhsonat di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS.5:5).
Muhsonat dalam ayat tersebut adalah wanita terhormat, bukan wanita sembarang dari ahli kitab.
Mengapa demikian aturannya ? Karena Allah menghendaki perkawinan kita langgeng, tidak hanya di dunia ini saja tapi sampai akhirat.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari diri kamu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu mawaddah dan rahmah.” (QS.30:21).
Coba kita perhatikan lagi arti ayat diatas. Mawaddah itu bukan berarti hanya cinta. Cinta mengenal arti ‘putus’, tapi mawaddah tidak mengenal arti putus. Cinta bisa putus, tapi mawaddah tidak. Apa sebenarnya arti Mawaddah ?
Mawaddah mempunyai arti dasar yang berarti kosong. Kosong hati kita dari memori kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh pasangan kita. Suami/isteri harus sadar kalau suami/isteri bisa melakukan kesalahan yang lebih besar dari pasangannya, karena itu kosongkanlah hati dari memori kesalahan pasangan Anda.
Karena itu, selama ada mawaddah di hati berdua, tidak ada kata cerai. Allah menutup serapat-rapatnya celah untuk terjadinya perceraian, karena Allah tidak menghendaki hal itu. Seharusnya tidak ada lagi celah untuk melegitimasi adanya perceraian yang diperbolehkan.
Kata Nabi, perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzha), tidak ada ikatan kuat antar manusia sekuat perkawinan atau berpasangan.
Kalaupun tidak ada mawaddah lagi, maka perlu ditanya apakah masih ada rasa rahmah (kasih sayang) pada isteri/suaminya. Kalaupun rasa rahmah juga tidak ada lagi, bagaimana dengan amanah ? masih adakah amanah di hati tiap-tiap pasangan tersebut.
Amanah termasuk didalamnya adalah anak-anak, tapi juga termasuk aib dari masing-masing pasangan. Seorang isteri rela untuk menunjukkan perhiasannya kepada suaminya itu adalah sebuah amanah.
Begitulah ketika ada seseorang yang akan menceraikan istereinya, maka Umar bin Khattab bertanya kepadanya, apakah dia sudah tidak mempunyai rasa mawaddah kepadanya ? Dijawab dengan tidak oleh orang tersebut. Lalu Umar bertanya kembali, apakah dia memang sudah tidak rahmah (sayang) lagi kepada isterinya ? Dijawab dengan tidak kembali oleh orang tersebut. Lalu Umarpun kembali bertanya ? Bagaimana dengan amanah yang sudah dia berikan kepadamu dan kamupun memberikan amanah kepadanya ?
Di sini sangat menekankan Allah sangat tidak menyukai kepada perceraian, segala celah alasan untuk terjadinya perceraian ditutup rapat.
“bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(QS.4:19).
Sabda Nabi pula kurang lebih demikian : “Bertakwalah kepada Allah terhadap perempuan-perempuan, yang ditanganmu terdapat keputusan untuk menceraikan mereka. Kamu kawinkan mereka dengan kalimat-kalimat Allah dan menjadi halal hubungan kamu dengan mereka atas kalimat-kalimat Allah”.
Apa kalimat Allah itu ? Kalimat Allah itu hanya digunakan dalam Al-Quran hanya untuk dua hal, Nikah dan Zawaj (Perkawinan, tapi arti yang lebih dekat adalah berpasang-pasangan). Kalimat Allah adalah kalimat-kalimat yang mengandung kejujuran dan adil.
Allah mengatakan bahwa Dia tidak akan mengubah kalimat-kalimatNya. Nah seharusnya manusia yang menikah dan berpasang-pasangan jika menikah itu atas kalimat-kalimat Allah tentunya mereka tidak akan mengubah-ubah. Perceraian adalah mengubah-ubah kalimat Allah. Tidak bisa diubah kalau pernikahan dan perkawinan itu terjadi dengan kalimat-kalimat Allah.
“Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah.” (QS.10:64).
Berpasangan itu harus ada bedanya, misal sepatu kanan harus berbeda dengan sepatu kiri agar bisa digunakan. Tajam dan kuatnya jarum harus diimbangi dengan lemahnya kain agar dapat digunakan dan dibuat menjadi baju. Seandainya jarum yang tajam dan kuat tidak diimbangi dengan kain yang lemah tapi dengan kain yang keras seperti tembok, maka kita tidak bisa membuat baju. Begitu juga dengan kehidupan manusia, antara suami dan isteri, kalau dua-duanya ingin mempunyai peran menjadi bapak maka perkawinan tidak akan langgeng.
Apakah lemahnya kain menandakan rendahnya derajat kain ? Tidak. Itu merupakan fenomena kesetaraan, karena kuatnya jarum jika dia sendirian, tidak ada kain maka tidak akan ada baju yang jadi. Karena itu, manusia yang sendirian maka banyak sesuatu yang belum optimal atau dapat terwujud.
Subhanallah, Allah telah menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan, banyak hikmah yang dapat kita renungkan.
Kawin atau berpasang-pasangan sesungguhnya adalah kita menyatukan jiwa, pikiran, perasaan dan jasmani kepada pasangan kita. Kita satukan semua yang ada dalam diri kita dengan pasangan kita tersebut.
Pada masa ini mereka bukan lagi berfikir mengenai tongkat ali, Viagra dan ubat-ubat lain bagi mengembalikan kekuatan tenaga batin tetapi yang mereka inginkan adalah mengisi hari-hari akhir ini dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sedekat-dekatnya secara bersama-sama.

Mereka juga berusaha memberikan contoh yang baik, teladan dan nasihat kepada anak cucu supaya mereka tidak salah dalam memilih jalan hidup di dunia yang penuh dugaan ini. Inilah hakikat rahmah itu.
Melihat kasus yang terjadi di negara kita, di mana dilaporkan sudah banyak terjadi pasangan tua yang berpisah kerana ingin bernikah dengan yang lebih muda, maka dapat dikatakan bahawa terjadi krisis rahmah dalam perkahwinan hingga hubungan seks menjadi matlamat.

Pada saat ini, seakan-akan Allah hanya memberikan kepada kita mawaddah tetapi mencabut nikmat rahmah. Akibatnya, kasus seperti di atas semakin menjadi-jadi dan kebahagiaan rumah tangga semakin jauh.

Allah akan menurunkan rahmah di dalam satu keluarga apabila keluarga berkenaan dibina atas niat mencari keredaan Allah. Oleh sebab itu, di dalam proses membina satu rumah tangga, Rasulullah memberikan bimbingan kepada umat Islam agar memilih pasangan karena empat prinsip, iaitu kecantikan, keturunan, kekayaan dan agamanya. Akan tetapi Rasulullah memberatkan agar agama menjadi keutamaan.

Ada kalanya orang memilih pasangan kerana kecantikan dan kekayaan sehingga mereka lupa bahawa kecantikan dan harta bersifat sementara. Begitu juga dengan keturunan dan nasab tidak selamanya menjamin kebahagiaan.

Oleh sebab itulah, Rasulullah menyuruh memilih pasangan kerana agama sebab kekurangan dalam rupa, harta dan nasab atau keturunan akan disempurnakan oleh agama. Wanita yang beragama akan timbul di wajahnya kecantikan yang lahir dari jiwanya dan menyinari segenap tubuhnya, bukan kecantikan palsu yang diselaputi solekan.

Wanita yang beragama juga akan melahirkan sifat qana'ah, iaitu berasa cukup dengan yang mereka miliki dan tidak terlalu memaksa diri untuk mencapai sesuatu. Sifat inilah yang dikatakan oleh ahli tasawuf dengan kekayaan yang sebenarnya. Agama pula membedakan seorang manusia dengan manusia yang lain, bukan kerana keturunan dan kedudukan seperti firman Allah yang bermaksud: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa."

Oleh itu, keluarga yang dibina atas dasar agama ini akan memiliki matlamat yang jelas. Bagi mereka, hidup di dunia ini hanyalah satu jalan menuju kehidupan akhirat yang abadi sehingga apa pun yang mereka lakukan dalam keluarga itu tidak keluar daripada tujuan asal untuk mencipta keluarga sakinah yang diredai Allah dan berjuang untuk menegakkan agama Allah dalam semua aspek kehidupan mereka.

Dalam keluarga Islam, hubungan yang dihalalkan melalui pernikahan itu bukan sekadar memenuhi hawa nafsu semata-mata tetapi ia satu ibadah yang bertujuan melahirkan generasi atau zuriat yang soleh.

Keluarga yang soleh ini akan melahirkan masyarakat yang soleh dan akan menjadi asas bagi negara yang soleh, bertamaddun dan berwawasan. Konsep pernikahan seperti inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Salah satu cara terbaik ialah dengan menanamkan kesedaran kepada masyarakat mengenai hakikat atau falsafah pernikahan dalam Islam sebagai alat mencipta keluarga sakinah, bukan sekadar memenuhi keperluan syahwat semata-mata. Pengisian nilai-nilai agama sangat diperlukan dalam sebuah keluarga agar memiliki matlamat yang jelas dalam mengisi sebuah perkawinan.


Baca Selengkapnya...